Semuaamal yang kita lakukan tergantung kepada apa yang kita niatkan didalam hati. Rosulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda: “hanya saja amalan itu tergantung kepada niat”. (HR. Bukhori dan Muslim) Maka janganlah kita melakukan suatu amalan karena selain Allah atau dengan niat ingin dilihat, didengar, atau dipuji oleh orang lain.
Adabeberpaa keutamaan bagi umat muslim yang melaksanakan ibadah Qurban yaitu seperti. Menambah rasa syukur dan cinta kepada Allah SWT. Ciri seorang Muslim. Meneladani Nabi Ibrahim AS. Bekal di hari akhir. Mendapatkan ampunan. Mensucikan harta dan jiwa. Kemudahan di hari akhir. Hidup menjadi lebih berkah.
A Pengertian Fiqih Ibadah. Secara bahasa kata fiqih dapat diartikan al-Ilm, artinya ilmu, dan al-fahm, artinya pemahaman. Jadi fiqih dapat diartikan ilmu yang mendalam. Secara istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang
Maridiakhir khutbah Idul Adha ini kita sama-sama meningkatkan syi'ar agama Islam ini dengan cara menunaikan ibadah Haji bagi yang sudah mampu, dan memotong hewan kurban bagi kita yang belum mampu
1 Ibadah asas. 2. Ibadah cabang-cabang. 3. Ibadah yang lebih umum. Ibadah yang asas merangkum soal-soal akidah dan keyakinan kita kepada ALLAH, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari pembalasan, ketentuan dan ketetapan ALLAH baik ataupun buruk. Itulah yang kita sebut rukun iman. Termasuk dalam uraian ibadah yang asas itu ialah rukun
Dịch Vụ Hỗ Trợ Vay Tiền Nhanh 1s. TOPIK UTAMA MENGAPA KITA BUTUH ALLAH? Banyak Orang Melupakan Allah ”Anda bisa hidup tanpa Allah? Jutaan orang terbukti bisa.” Itulah bunyi sebuah papan reklame yang baru-baru ini dipasang oleh kelompok ateis di suatu negeri. Di banyak negeri, orang-orang semakin yakin bahwa mereka bisa hidup tanpa Allah. Di pihak lain, banyak orang mengaku percaya Allah ada, tapi bertingkah laku seolah Ia tidak ada. Salvatore Fisichella, seorang uskup agung Katolik, mengatakan tentang jemaat gerejanya, ”Mungkin tidak ada yang bisa menebak bahwa kita orang Kristen karena gaya hidup kita sama saja dengan orang yang tidak beragama.” Ada yang tidak mau repot-repot memikirkan Allah karena sudah terlalu sibuk. Apalagi, mereka pikir Allah terlalu mulia sehingga tidak mungkin memperhatikan hidup setiap orang. Paling-paling, mereka ingat Allah sewaktu susah atau butuh sesuatu—Allah dianggap sebagai bawahan yang siap memenuhi keinginan mereka kapan pun mereka mau. Ada juga yang tidak mau mengikuti ajaran agama karena merasa itu tidak bermanfaat. Misalnya, 76 persen orang Katolik di Jerman menganggap hidup bersama sebelum menikah itu sah-sah saja, padahal gereja mereka maupun Alkitab melarang hal itu. 1 Korintus 618; Ibrani 134 Tentu, bukan hanya orang Katolik yang seperti itu. Para pemimpin berbagai agama menyayangkan sikap umat mereka yang ”sama saja seperti orang ateis”. Kalau begitu, apakah kita memang membutuhkan Allah? Hal ini sebenarnya sudah ditanyakan dalam buku pertama Alkitab, Kejadian. Untuk tahu jawabannya, mari kita bahas beberapa hal yang diceritakan dalam buku Kejadian.
Nasehat Dhuha Selasa, 5 Oktober 2021 27 Shafar 1443 H Oleh Sarwo Edy,ME Klikbmi, Tangerang – Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. QS. Adz-Dzariyat 56. Apa yang ada di pikiran sahabat BMI Klikers jika mendengar ayat di atas? Yang pastinya salah satunya adalah tujuan manusia hidup yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT Sang Khaliq. Akan tetapi bagaimana jika ada pertanyaan selanjutnya, Berarti Allah membutuhkan ibadahnya seorang hamba? Jika Allah masih membutuhkan ibadah hamba-Nya. Berarti Allah menafikan sifat-Nya yang ada di asmaul husna yaitu Al-Ghani Maha Berkecukupan. Yang artinya Allah tidak membutuhkan yang lain. Lantas untuk apa Allah menyuruh hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya? Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman, يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا “Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” HR. Muslim no. 2577 Dari hadist qudsi di atas, secara tersirat dijelaskan bahwa Allah tidak membutuhkan ketaqwaan dari seorang hamba-Nya. Bahkan ketaqwaan dan maksiat dari seorang hamba tidak akan menambah atau mengurangi kekuasaan-Nya. Akan tetapi, sebenarnya ibadah atau amal baik apapun yang diperintahkan oleh Allah untuk hamba-Nya adalah untuk hamba itu sendiri dan manfaatnya kembali ke hamba itu sendiri. Salah satunya adalah perintah bersyukur di dalam surat Luqman ayat 12 yang berbunyi وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Selain itu, Allah juga menyatakan bahwa amalan-amalan baik yang diperintahkan kepada hamba-Nya akan kembali ke hamba itu sendiri. Allah SWT berfirman di dalam surat Al-Isra’ ayat 7 yang berbunyi Jika kamu berbuat baik berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri Jika kita sebagai seorang hamba masih berpikiran bahwa Allah membutuhkan ibadah kita, maka biasanya kita “hanya sekedar” menunaikannya untuk menggugurkan kewajiban kita sebagai seorang hamba. Akan tetapi, jika kita beranggapan bahwa kita lah yang membutuhkan Allah, maka kita akan menjadikan ibadah kita tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban, akan tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai kebutuhan. Sehingga kita lebih “serius” dalam beribadah kepada-Nya. Ibadah kepada Allah adalah esensi dari tauhid uluhiyyah. Ibadah itu ibarat makanan. Jika kita butuh makan untuk kebutuhan jasmani kita. Maka kita butuh ibadah untuk kebutuhan rohani kita. Wallahu a’lam bish-showaab. Mari terus ber-ZISWAF Zakat,Infaq,Sedekah dan Wakaf melalui rekening ZISWAF Kopsyah BMI 7 2003 2017 1 BSI eks BNI Syariah a/n Benteng Mikro Indonesia atau menggunakan Simpanan Sukarela 000020112016 atau bisa juga melalui DO IT BMI 0000000888. Sularto/Klikbmi
Beribadah kepada Allah Swt. adalah perbuatan yang dihasilkan oleh pengenalan tentang- Nya. Artinya, manusia menyaksikan lembaran keindahan alam berikut berbagai petunjuk sistemnya. Demikianlah, manusia beralih dari sistem menuju Pembuat sistem. Barang siapa memperhatikan alam ini secara cermat dan teliti, ia melihat bahwa tidak ada satu pun yang siasia, tidak teratur, atau tidak memiliki tujuan. Karena itu, ia sadar bahwa ia pun harus bergerak dalam koridor sistem itu. Begitu pula jika ia melihat alam ini dari sudut keindahan, ia pasti melihat keindahan yang menakjubkan dan luar biasa tak terkira, mulai dari keindahan wajah manusia hingga keindahan bumi, langit, dan bintang-gemintang. Di hadapan keindahan menakjubkan yang memikat manusia dan menyihir kalbunya itu, tak mungkin ia tidak menyadari keberadaan Pemilik seluruh wujud dan keindahan itu. Pengamatan terhadap jagat raya ataupun terhadap diri sendiri akan membuat jiwa manusia bergelora, gembira, dan terkesan tak ubahnya anak kecil yang melompat dan berteriak kegirangan, setiap kali melihat nama-Nya yang indah bersinar ibarat kupu-kupu yang terang di atas karya, kreasi, dan ketentuan-Nya yang indah. Manusia pasti merasa takjub dan kagum akan sifat-sifat yang merupakan sumber segala kebaikan dan keindahan. Di hadapan Pemilik seluruh wujud, manusia nyaris kehilangan kesadaran karena kagum dan terpesona. Dari sisi lain, segala sesuatu di alam tampak telah dipersiapkan dan dirancang di tempat lain kemudian dihidangkan untuk melayani manusia. Ya, beragam nikmat dipersembahkan untuk manusia dalam kotak-kotak yang terpelihara atau dalam bentuk buah sehingga bumi laksana hidangan yang penuh dengan beragam santapan. Ketika manusia mengulurkan tangan untuk mengambil nikmat itu, ia merasakan keberadaan Sang Pemilik Hakiki. Dari perasaan tadi, ia pun menjadi kagum dan terpesona serta menemukan kenikmatan lain. Seandainya bayi mengerti saat ia mengisap puting ibunya—sebagai sumber rahmat untuknya, tentu ia akan merasa bahwa makanan yang sangat bermanfaat untuknya itu seolah-olah dipersembahkan baginya dari alam lain. Ia juga akan merasa bahwa di balik seluruh kejadian ini terdapat Sang Pemberi nikmat dan rezeki Yang Mahamulia. Ketika itu, ia akan menundukkan kepala karena hormat kepada-Nya. Ya. Setiap nikmat dan karunia menunjukkan Sang Pemilik nikmat dan karunia sekaligus mendorong manusia untuk menghormati-Nya. Di mana pun kita menyaksikan nikmat, keindahan, dan keteraturan, harus ada penyembahan kepada Sang Pemilik nikmat, keindahan, dan keteraturan. Dengan kata lain, ketika Allah membuat kita merasakan keberadaan-Nya, kita harus segera membalas dengan penyembahan dan pengabdian kepada-Nya. Beranjak dari hal ini, kaum Muktazilah dan Maturidiah berpendapat tentang ketundukan manusia bahwa kalaupun tidak dikirim seorang nabi atau tidak ada orang yang membimbing manusia menuju Allah, ayat-ayat dan berbagai petunjuk yang menghiasi alam ini sudah cukup untuk mengantarkan manusia kepada Allah, sehingga manusia diharuskan mengenal Allah dan bersikap sesuai dengan konsekuensi pengenalan itu. Ada beberapa contoh yang bisa diberikan untuk menjelaskan pandangan kaum Maturidiah. Misalnya, kita melihat bahwa sejumlah orang yang hidup semasa dengan Rasul saw., meskipun berada di dekat Ka’bah yang ketika itu dipenuhi patung dan berhala serta meskipun tidak ada orang yang mengajarkan hakikat tauhid kepada mereka, memiliki perasaan sebagaimana seorang badui berujar, “Kotoran unta menunjukkan keberadaan unta. Jejak kaki menunjukkan perjalanan. Bumi yang dipenuhi jalan dan langit yang dipenuhi bintang, bukankah itu menunjukkan keberadaan Sang Mahahalus dan Maha Mengetahui?” Begitulah ucapan orang badui yang di padang pasir hanya melihat pasir dan kerikil. Lalu, bagaimana dengan orang lain?! Rasul saw. datang dengan membawa pemahaman yang mulia untuk menyelamatkan umat manusia. Boleh dibilang, beliau adalah manusia di atas manusia. Beliau telah sampai kepada makna hakiki alam ini sebelum menjadi nabi. Ia telah merasakan keberadaan Allah serta mulai mencari, berpikir, dan beribadah di gua Hira. Dalam sebuah riwayat Shahîh al-Bukhâri, ibunda kita, Khadijah menerangkan bahwa Rasul saw. selalu beribadah di gua Hira dan bahwa beliau hanya kembali ke Mekah untuk mengambil bekal. Ini menunjukkan bahwa manusia dengan pengetahuannya dapat menyingkap beberapa hal dan selanjutnya berbagai bentuk ibadah kepada Allah Swt. Apa yang dikatakan oleh Zaid ibn Amru menjelang wafatnya layak untuk direnungkan. Zaid adalah paman Umar ibn Khattab Sesaat sebelum meninggal dunia, ia memanggil semua anggota keluarganya dan mengumpulkan mereka di sekitarnya. Ia kemudian memberitahu mereka sifat-sifat nabi yang dinantikan sebagaimana diketahuinya, sedangkan ia sendiri tidak ditakdirkan untuk berjumpa dengan Rasul saw. Dengan kata lain, ia menunggang kudanya hingga ke pantai tetapi tidak sempat menaiki bahtera Islam. Meski demikian, dengan segenap jiwanya ia bisa merasakan kehadiran Rasul saw. dan hakikat ajaran beliau dengan seluruh anggota tubuhnya. Namun, ia tidak bisa menyebutkan sebuah nama atas apa yang ia rasakan. Ia mengatakan sesuatu yang maknanya kurang lebih sebagai berikut “Ada cahaya Ilahi yang tampak di cakrawala. Aku yakin, ia pasti akan datang. Aku bagaikan melihat jejaknya.” Ia lalu menghadap kepada Tuhan dan berkata, “Wahai Sang Pencipta Yang Mahaagung, aku tidak mengenal-Mu secara sempurna. Seandainya aku mengenal- Mu, tentu Aku menyembah-Mu secara benar. Akan kuletakkan keningku di tanah hingga Hari Kiamat di hadapan keagungan-Mu.” Demikianlah tampak bahwa jiwa yang bersih, seandainya tidak tinggal dalam komunitas paganis, tentu akan sampai lewat perenungan terhadap alam dan keteraturannya kepada pelaksanaan tugas penyembahan kepada Allah Swt. Jadi, setelah mengenal Allah Swt. penyembahan kepada-Nya segera dimulai. Ya. Selama ada Zat yang memberikan berbagai kenikmatan kepada kita, penyembahan pun ada. Karena itu, Allah Swt. telah menetapkan dalam fitrah manusia dan kalbu manusia sebuah perasaan untuk mengabdi dan beribadah. Atau, sebagaimana dikatakan Zaid, “Akan kuletakkan keningku di tanah hingga Hari Kiamat di hadapan keagungan-Mu.” Wahyu langitlah yang bisa menjelaskan bentuk ibadah yang benar tanpa penyimpangan melainkan pelestariannya dalam koridor perintah Ilahi. Seolah-olah Allah Swt. berkata, “Aku adalah Allah dan engkau adalah hamba-Ku. Kenalilah Aku lewat berbagai nikmat yang Kuberikan kepadamu, Aku akan mengajarimu adab ibadah yang bisa kaupersembahkan untuk-Ku.” Pertama-tama, engkau berwudu. Lalu, agar engkau bisa melawan nafsumu, ingatlah bahwa Allah Swt. adalah Zat Yang Mahabesar sementara semua selain-Nya adalah kecil dan lemah. Lalu, letakkanlah tanganmu di depanmu sebagai tanda ketundukan. Selanjutnya, berusahalah untuk menghayati ibadahmu semaksimal mungkin. Tunjukkanlah bahwa dirimu ingin mencapai ketingggian jiwa menuju tempat para nabi yang mulia. Kemudian, rukuklah seraya bersyukur. Ketika engkau membungkuk dalam rukuk, engkau sampai kepada dimensi lain. Setelah itu, engkau berpindah kepada sujud guna mencapai tingkat ketawadukan yang dalam. Lalu, engkau bangkit untuk kembali sujud sehingga engkau bisa banyak berdoa, karena saat terdekat antara hamba dan Tuhannya adalah ketika si hamba bersujud. Tatkala bersujud, ingatlah firman Allah Swt. “Dan perubahan gerak badanmu bersama orang-orang yang bersujud.”[1] Yakni, Dia melihat keberadaanmu di antara orang-orang yang bersujud. Kadar keselarasan dan kemampuanmu untuk berada dalam suasana sujud menentukan tingkat kemuliaanmu dalam derajat mikraj yang menjadi tujuan salat. Jadi, ibadah adalah iman kepada Allah dan pengenalan akan sifat-sifat-Nya, lalu melaksanakan apa yang menjadi implikasi pengenalan itu dengan penuh ketundukan dan penghormatan lewat petunjuk-Nya dan sesuai dengan perintah-Nya. Dengan uraian ini, aku telah menjelaskan salah satu aspek persoalan di atas. Artinya, ketika kita mengenal Allah Swt., kita tidak boleh bersikap gegabah dan berbuat sesuatu yang tidak pantas, tetapi kita sepatutnya mengikuti cahaya yang dipancarkan Nabi saw. dalam naungan petunjuk ayat-ayat yang jelas serta senantiasa mencari rida Ilahi. Apabila kita mengamati persoalan kedua, kita melihat bahwa dalam semua bidang, perdagangan, pengetahuan, seni, pertanian, ataupun industri, manusia selalu membutuhkan pembimbing dan perlu banyak belajar. Setiap kalian, misalnya, memiliki pekerjaan. Ada yang memiliki pabrik tenun, ada yang memproduksi plastik, serta ada yang mengadakan pameran barang. Lalu, ada orang yang ingin membantu kita agar tidak tertipu. Karena ia mengetahui prinsip dan teori dagang, ia ingin agar kita menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Karena itu, ia berdiri di depan kita seraya berkata, “Kalian harus bisa melaksanakan pekerjaan ini, sebab pekerjaan ini sangat penting dan dibutuhkan. Namun, agar kalian bisa menunaikannya secara baik, kalian harus mempekerjakan orang dan mempergunakan modal secara tepat, serta berhemat dan tidak boros. Kalian juga harus memperhatikan ini dan itu.” Sekarang, jika kita jujur, tentu kita akan memperhatikan ucapan orang itu yang tidak mendapatkan manfaat apa pun dari petunjuk yang ia berikan. Kita pasti memperhatikan semua nasihatnya dan mencermati semua penjelasannya secara tekun, lalu kita mengelola urusan kita sesuai dengan petunjuknya. Seperti itu pulalah, dalam beribadah dan taat kepada Allah, kita tidak berbuat semau dan sesuka kita, tetapi sesuai dengan aturan, bentuk, dan tata cara yang ditunjuki oleh Tuhan Pencipta kita. Dengan demikian, terwujudlah keberkahan dalam ibadah kita sehingga Ibadah itu menjadi seperti satu bulir yang menumbuhkan tujuh bulir. Bisa jadi ketika mengucapkan, “Allahu Akbar”, kita menyentuh tombol sehingga pintu rahmat Ilahi terbuka di hadapan kita. Bisa jadi saat itu terbukalah di hadapan jiwa kita berbagai pintu ilham. Bisa jadi, ketika membaca surat al-Fâtihah, kita mempergunakan kunci rahasia untuk membuka gembok bergigi rahasia. Juga, siapa tahu, pada setiap rukun salat yang kita lakukan, pintu-pintu rahasia terbuka di hadapan kita. Ya. Kita bisa mengatakan bahwa seluruh jalan menjadi teratur dan seluruh pintu terbuka saat kita bersujud. Doa-doa kita akan naik menuju hadirat Ilahi dan akan diliputi oleh para malaikat yang mulia. Siapa yang dapat menyangkal semua itu? Sang pembawa berita yang jujur telah memberitahu kita semua itu lewat penjelasannya yang mendalam dan bercahaya. Jadi, bentuk ibadah terbaik adalah bentuk ibadah yang diperkenalkan Tuhan kepada kita, karena Allah Swt. yang menciptakan mesin manusia tentu lebih mengetahui cara mesin tersebut bekerja. Dia lebih mengetahui bagaimana mendapatkan buah terbaik darinya, entah dalam kehidupan dunia ataupun akhirat. Pencipta mesin tentu menyiapkan pula cara kerjanya. Cara kerja itu haruslah diperhatikan bila mesin hendak dipergunakan secara tepat. Dengan demikian, ibadah tidak bisa dikerjakan sesuka hati, tetapi harus sesuai dengan petunjuk dan arahan Rasul saw. Ketika itulah ibadah terwujud dalam bentuknya yang terbaik. Ini adalah salah satu nikmat yang Allah berikan kepada umat Nabi Muhammad saw. Karena itu, kita katakan ini sebagai karunia Tuhan. Kita berdoa kepada Allah Swt. dengan doa Rasul saw. serta memohon kepada-Nya agar Dia tidak membiarkan kita sendiri sekejap pun. [1] al-Syu’arâ’ 219.
9 FOLLOW untuk mengikuti artikel-artikel mencerahkan Follow Us Mengapa dalam nalar-keimanan kita terpatri pemahaman bahwa praktik-praktik ibadah dilakukan karena perintah Allah dan dimaksudkan untuk menyembah-Nya? Itu terjadi, karena mispersepsi terhadap firman-firman Allah yang secara literal kurang lebih mengungkapkan demikian. Sehingga, problematika itu menjadi bagian integral dari terbentuknya nalar-keimanan yang rancu. Praktik-praktik peribadatan yang selama ini kita lakukan, seperti puasa, salat, zakat, haji, masih terkonstruksi dalam pengertian bahwa itu semua dilakukan karena perintah Allah dan untuk menyembah-Nya. Tak sedikitpun terbersit dalam nalar-keimanan kita bahwa, Allah sebagai Zat Mahakuasa tidak membutuhkan ibadah dan sesembahan apapun. Bagaimana mungkin Zat Yangmahakuasa meminta sesuatu dari ciptaan-Nya? Berkebalikan dari itu, justru banyak sinyalemen yang memberi pertanda bahwa semua ibadah dalam doktrin Islam berdimensi kemanusiaan antroposentrisme, bukan berdimensi ketuhanan/teosentrisme Arkoun, 1993. LIKE untuk mengikuti artikel-artikel mencerahkan Sebab itu, peribadatan dalam Islam tidak ditujukan untuk menciptakan muslim yang saleh secara ritual dan saleh terhadap Allah an sich. Peribadatan seharusnya dilakukan seorang untuk menghasilkan kesalehan privat dan sosial, karena demikian itulah substansi peribadatan yang dimaksudkan dan diperintahkan Allah. Peribadatan yang berdimensi antroposentris memiliki arti bahwa semua peribadatan tidak satupun dimaksudkan untuk menyembah Allah, apalagi dengan pemahaman bahwa Allah mempunyai kepentingan terhadap ibadah tersebut. Dimensi antroposentrisme ibadah, hanya dimaksudkan untuk kepentingan umat manusia semata, supaya mereka mendapat ketenangan setelah keruhnya kehidupan dunia. Sebaik-baiknya implementasi ibadah juga harus tertransformasi kepada dimensi sosial yang lain. Jadi, ibadah tidak hanya untuk kepentingan privat-antroposentris, melainkan juga untuk kepentingan sosial-antroposentris. Problematika Teks Mengapa dalam nalar-keimanan kita terpatri pemahaman bahwa praktik-praktik ibadah dilakukan karena perintah Allah dan dimaksudkan untuk menyembah-Nya? Itu terjadi, karena mispersepsi terhadap firman-firman Allah yang secara literal kurang lebih mengungkapkan demikian. Sehingga, problematika itu menjadi bagian integral dari terbentuknya nalar-keimanan yang rancu. Banyak sekali firman-firman Allah yang dimispersepsi sehingga dampaknya tidak dirasakan secara substansial dalam dimensi antroposentris. Misalnya firman-firman Allah seperti “tidak Ku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku 5156, atau “manusia harus menyembah Allah yang telah menciptakannya dan manusia-manusia sebelumnya supaya ia bertakwa 221, atau “sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan selain-Nya 759. Hadis Qudsi yang mengungkapkan tujuan diciptakan manusia adalah untuk mengonfirmasi eksistensi Allah, juga turut mengesankan seakan-akan Allah memang ingin disembah. Ibrahim Madkour, dalam catatan Boisard pernah mengutip hadis qudsi itu “Aku ini dulunya sebagai suatu harta simpanan yang tak diketahui, kemudian Aku ingin agar dikenal.” Untuk maksud itu, Allah menciptakan manusia, maka manusia mengetahui-Nya Boisard, 1980 Sesungguhnya teks-teks itu tidak problematis. Problematika terjadi akibat mispersepsi terhadap teks-teks itu. Apa dampak mispersepsi dari teks-teks itu? Salah satu hal fundamental yang dampaknya dirasakan secara langsung dalam kehidupan kita adalah anggapan bahwa ibadah dilakukan karena perintah Allah dan untuk menyembah-Nya. Dalam dataran itulah, ibadah hanya berdimensi teosentrisme. Padahal, tujuan fundamental ibadah supaya manusia mendapat ketentraman bagi dirinya privat-antroposentris dan bagi orang lain di sekelilingnya sosial-antroposentris. Konfirmasi Teks Di balik perintah Allah agar menusia beribadah untuk menyembah-Nya, sesungguhnya tersirat penekanan bahwa ibadah sesungguhnya untuk umat manusia itu sendiri. Firman-firman Allah yang memerintahkan supaya kaum muslim beribadah, adalah firman yang berfungsi sebagai konfirmasi bahwa kaum muslim sesungguhnya membutuhkan dimensi spiritualitas dan religiositas dalam kehidupan. Semua itu hanya akan ditemukan dengan cara menyembah Allah sebagai harapan kehidupan yang lebih baik di dunia maupun setelah dunia. Jadi, kata perintah amar yang menyatakan Allah meminta kaum muslim menyembah-Nya, tidak berarti Allah memerintah Ia disembah, melainkan mengonfirmasi bahwa kesadaran untuk menyembah Allah akan menguntungkan. Dari pemahaman itu, sesungguhnya sangat merugilah mereka yang tidak menyembah Allah. Menyembah Allah, tidak berarti sesembahan itu untuk Allah, melainkan demi kepentingan kaum umat manusia itu sendiri Wahid, 1997. Ini senada dengan tujuan fundamental ibadah dalam doktrin Islam. Keadilan Allah, justru terletak pada saat Ia tidak membutuhkan ibadah dari ciptaan-Nya. Cukuplah setiap perintah ibadah untuk kepentingan umat itu sendiri. Dengan demikian, kesadaran untuk beribadah bukan lagi karena “paksaan” perintah Allah tapi datang dari dorongan internal kita. Pemahaman bahwa ibadah untuk umat manusia itu sendiri, akan menimbulkan spirit dan rangsangan untuk lebih banyak lagi beribadah. Dengan demikian, kita diharapkan akan menemukan kedamaian privat dan memiliki etos transformasi sosial. Di situ juga tersirat pesan bahwa kita tidak bisa hanya berharap dari kerja-keras dan penalaran kita saja agar hidup ini lebih tentram. Dengan adanya kesadaran beribadah seperti itu, sesungguhnya terletak pengandaian bahwa setiap manusia membutuhkan harapan-harapan dan kedamaian dengan menyembah Allah. Jadi, Allah tidak butuh disembah, melainkan kita sendiri yang sesungguhnya butuh menyembah-Nya.
Ketahuilah, Allah Ta’ala tidak membutuhkan amal ibadah kita. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menyembah-Nya, namun bukan karena Ia butuh untuk disembah. Allah berfirman وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku saja. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” QS. Adz Dzariat 56-58 Kita beribadah atau tidak, kita melakukan amal kebaikan atau tidak, kita taat atau ingkar, kita maksiat atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh pada keagungan Allah Ta’ala. Andai seluruh manusia beriman dan bertaqwa, keagungan Allah tetap pada kesempurnaan-Nya. Andai semua manusia kafir dan ingkar kepada Allah, sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم وإنسكم وجنكم . كانوا على أتقى قلب رجل واحد منكم . ما زاد ذلك في ملكي شيئا . يا عبادي ! لو أن أولكم وآخركم . وإنسكم وجنكم . كانوا على أفجر قلب رجل واحد . ما نقص ذلك من ملكي شيئا “Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal samapi yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertaqwa, hal itu sedikitpun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” HR. Muslim, Demikianlah, Allah Ta’ala tidak butuh terhadap ibadah kita. Lalu untuk apa kita berlelah-lelah, menghabiskan banyak waktu untuk beramal dan beribadah? Karena kita yang butuh untuk itu. Allah Ta’ala berfirman إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا “Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri” QS. Al Isra 7 وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ “Dan barangsiapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri” QS. Luqman 12. Maka apa lagi alasan untuk enggan dan malas beribadah dan beramal? Bukankah itu untuk kita sendiri?
allah tidak butuh ibadah kita